OPINI

Detail Opini Siswa

Menyingkirkan “Kerikil Tajam” dalam Adat Perkawinan Nyentana Ditinjau dari Perspektif Kesetaraan Gender

Kamis, 10 April 2025 20:43 WIB
2555 |   -

Menyingkirkan “Kerikil Tajam” dalam Adat Perkawinan Nyentana Ditinjau dari Perspektif Kesetaraan Gender

                                                        Oleh   : Ni Komang Tika Pradnyani
                                                         Kelas : XA

Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya dan tradisi yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Keanekaragaman budaya dan tradisi di Indonesia disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang merupakan sebuah negara kepulauan dengan kondisi alam dan letak wilayah yang berbeda-beda. Kondisi itu menyebabkan setiap daerah di Indonesia memiliki kekayaan budaya dan tradisi serta karakteristik tersendiri. Kekayaan tersebut merupakan sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah yang dapat dijadikannya sebagai  ikon  daerah tersebut.

Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kearifan lokal yang terkenal hingga ke mancanegara negara adalah budaya dan adat masyarakat di Bali. Bali atau yang lebih dikenal sebagai Pulau Dewata merupakan daerah yang memiliki beragam kearifan lokal yang masih kental melekat pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Potensi kearifan lokalnya memiliki keunikan tersendiri yang tidak terdapat di daerah lain.

Salah satu tradisi yang unik pada masyarakat Bali yang mungkin jarang diketahui oleh masyarakat dari daerah lain adalah jenis perkawinan “nyentana”. Perkawinan nyentana merupakan sebuah bentuk perkawinan adat Bali yang berbeda dan dianggap kurang biasa dengan perkawinan adat Bali pada umumnya yaitu pengantin wanita masuk ke keluarga pengantin laki-laki. Karena pada perkawinan nyentana ini pihak perempuanlah yang melamar laki-laki, sedikit berbeda dari perkawinan biasanya yaitu pihak laki-laki yang meminang calon pengantin perempuan.

Namun, sebagian masyarakat Bali saat ini masih memberikan stigma negatif terhadap orang yang melakukan perkawinan nyentana.  Stigma negatif itu, menurut penulis merupakan penghalang kearifan lokal di Bali. Stigma negatif tersebut bagaikan sebuah “kerikil tajam” yang menghalangi kearifan lokal Bali tersebut. Perkawinan nyentana ini sesungguhnya merupakan sebuah kearifan lokal yang dapat mengangkat harkat martabat kaum perempuan di Bali dalam hal menuju kesetaraan gender.

Selain hal tersebut, terdapat juga sebuah fenomena yang cukup menyedihkan terkait masalah perkawinan nyentana ini. Beberapa waktu yang lalu (berita dari tim TVOne, 20/1/2022) telah terjadi sebuah pernikahan seorang wanita dengan keris di wilayah Kabupaten Gianyar, Bali yang viral di media sosial. Hal tersebut disebabkan karena sang pengantin pria membatalkan perkawinan adat nyentana dua hari sebelum hari pernikahan tiba. “Dari semenjak awal pacaran hingga akhirnya memutuskan untuk ingin menikah, dia tetap berkomitmen untuk yang namanya kawin nyentana. Tetapi, setelah H-2 sebelum acara, tiba-tiba keluarga calon pengantin pria datang untuk menyampaikan bahwa perkataannya berubah dan tidak mau kawin nyentana”, menurut penuturan dari sang pengantin wanita. Serta menurut cerita dari sang pengantin wanita, bahwa pihak keluarganya tidak mengetahui apa yang telah terjadi sesungguhnya. Akhirnya, sang pengantin wanita terpaksa tetap melakukan prosesi pernikahan seorang diri demi menjaga nama baik keluarganya (tvonenews.com, 20/1/2022). Oleh karena itulah, penulis akan mencoba membahas lebih dalam lagi tentang bagaimana perkawinan nyentana ini dalam perspektif kesetaraan gender. Demi terwujudnya Sustainable Development Goals (SDGs) atau biasa disebut juga sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang salah satu tujuannya adalah mengenai kesetaraan gender.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sistem perkawinan di Indonesia pada umumnya terdapat 3 jenis yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Perkawinan di Indonesia sangat berhubungan erat bahkan saling melengkapi dengan unsur-unsur agama yang dianut oleh masyarakatnya. Besarnya kontribusi peran agama dalam perkawinan di Indonesia dapat dilihat lebih jelas dalam  Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 2 Tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa, perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (adat) itu. Selain itu, ketiga jenis perkawinan ini juga sangat dipengaruhi oleh hukum adat istiadat di masing-masing daerah. Sehingga, agama dan adat istiadat ini dapat menentukan jenis dan latar belakang hukum perkawinan adat yang berlaku pada suatu daerah, serta berbagai macam proses yang menyertai pada suatu upacara perkawinan.

Dalam masyarakat Bali pengaruh agama Hindu besar sekali sehingga hukum adat di Bali sebagian besar merupakan pelaksanaan dari ajaran-ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, hukum adat yang berlaku di Bali sering disebut sebagai hukum adat-agama (Hindu). Pada masyarakat adat Bali sendiri, sistem perkawinan pada umumnya menggunakan jenis sistem patrilineal yakni sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (pihak ayah). Jenis pernikahan dalam konteks ini adalah jenis perkawinan biasa yaitu pihak perempuan masuk ke keluarga laki-laki. Sistem ini bertujuan agar keturunan laki-laki bisa melanjutkan garis keturunan keluarganya, melaksanakan tugas-tugas sebagai warga negara, serta menjalankan kewajiban sebagai umat beragama di suatu tempat persembahyangan tertentu dan lain sebagainya.

Berlakunya sistem kekeluargaan patrilineal di Bali dapat ditafsirkan bahwa peran seorang anak laki-laki cenderung lebih menonjol. Karena itulah banyak perempuan baik dari Bali maupun daerah lainnya yang menganut sistem patrilineal tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Dalam hal ini bukan berarti anak perempuan tidak ada artinya sama sekali namun peran anak laki-laki lebih dapat terpandang terutama dalam hal menyangkut urusan sebagai penerus keturunan, kekerabatan, dan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan perannya dalam kedudukan di masyarakat. Dengan demikian, anak laki-laki di Bali disebut sebagai anak sentana. Istilah ini berasal dari kata sentana yang berarti penerus keturunan. Kedudukan anak laki-laki atau biasanya disebut sebagai Purusa oleh masyarakat Bali, pada suatu keluarga sangatlah penting dan apabila tidak ada keturunan yang meneruskannya kemungkinan dapat menyebabkan putusnya tali penerus keturunan dari suatu keluarga.

Ketika dalam sebuah keluarga di Bali hanya memiliki anak perempuan, maka akan dilakukan suatu proses upacara yang dapat mengangkat status anak perempuannya menjadi penerus keturunan atau sering disebut sebagai sentana rajeg. Istilah sentana rajeg artinya adalah saat anak perempuan yang ditingkatkan kedudukan atau statusnya dalam suatu keluarga menjadi “sentana”  yang berarti ia telah beralih menjadi status (secara administrasi adat) dan hak yang sama seperti anak laki-laki, yakni agar anak perempuan tersebut berhak dapat meneruskan keturunan dari keluarganya sendiri. Ketika sentana rajeg ini melakukan sebuah pernikahan atau perkawinan, maka ia akan menarik suaminya dengan jalan melakukan perkawinan “nyentana”. Hal inilah yang menjadi asal-usul dari terjadinya perkawinan nyentana di Bali. Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan ketika seorang laki-laki atau suami ikut dalam keluarga istrinya, tinggal di rumah istri, dan semua keturunannya menjadi penerus dari pihak keluarga istri. Tujuan utama dari pelaksanaan perkawinan nyentana ini adalah untuk melanjutkan garis keturunan dari pihak keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Sebenarnya perkawinan nyentana ini hampir mirip dengan jenis perkawinan matrilineal yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia misalnya pada masyarakat Minangkabau. Pada adat masyarakat Bali jenis perkawinan nyentana ini tentu saja merupakan sebuah inovasi pada kearifan lokal masyarakat Bali jika di dalam suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki (Windia, 2019).

Zaman sudah berubah, ternyata di beberapa tempat atau desa justru penulis menemukan kondisi yang berbeda. Walaupun telah memiliki anak laki-laki dalam suatu keluarga, ternyata dalam keluarga tersebut tetap melakukan perkawinan nyentana yakni anak perempuan tetap sebagai penerus keturunan. Fenomena ini penulis temukan pada salah satu desa di daerah penulis (wilayah Kabupaten Tabanan, Bali). Fakta itu tentu saja menjadi sebuah kemajuan dalam kesetaraan gender pada masyarakat adat di Bali walau belum lazim di kebanyakan desa adat di Bali.

Berdasarkan data dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap pasangan suami-istri yang melakukan adat perkawinan nyentana. Penulis memperoleh hasil bahwa beberapa alasan dari pihak perempuan tetap melaksanakan perkawinan nyentana di antaranya yaitu karena ingin membantu mendampingi saudara laki-lakinya untuk menggantikan kewajiban-kewajiban orang tuanya di desa adat atau banjar dalam hal melaksanakan kegiatan seperti ngayah atau gotong royong. Alasan dari kedua orang tuanya yaitu rasa cinta kasih terhadap anak perempuannya sehingga memiliki keinginan supaya anak perempuannya tersebut tidak diperbolehkan kawin keluar dan supaya tetap bisa berkumpul dengan anaknya yang lain. Alasan lainnya, si orang tua ingin menghindari kemungkinan terjadinya harta benda atau warisan jatuh ke tangan orang lain dan memang karena keinginan dari pihak laki-laki sendiri untuk nyentana ke rumah pihak perempuan. Pada kasus keluarga ini jelas menyatakan bahwa kesetaraan gender telah berjalan dengan sangat baik sehingga baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki hak yang sama untuk meneruskan keturunan.

Namun, beberapa wilayah di Bali masih sering perkawinan nyentana ini mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat. Karena dianggap dapat menyebabkan seorang anak laki-laki kehilangan hak warisnya karena melakukan perkawinan nyentana yang dinilai bertentangan atau merupakan bentuk penyimpangan dari hukum adat sistem kekerabatan patrilineal yang berlaku di Bali. Walaupun perkawinan nyentana ini tidak pernah dilarang dalam hukum agama maupun dalam hukum adat Bali. Perkawinan nyentana juga sering dihindari oleh pihak laki-laki sebab adanya konflik waris di keluarga pihak perempuan, dorongan untuk enggan beradaptasi pada lingkungan baru, dan sulitnya mendapatkan restu dari kedua orang tua pihak laki-laki. Selain itu, ada juga fakta yang agak miris dari penuturan salah satu pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan nyentana. Biasanya pihak laki-laki ketika melakukan perkawinan nyentana sering mendapatkan ejekan atau cemoohan dari keluarga maupun dari masyarakat di lingkungan sekitarnya. Hal tersebut membuat pihak laki-laki atau suami merasa direndahkan dan tidak dihormati. Masyarakat sering menyebutnya sebagai kepaid bangkung. Padahal, perkawinan nyentana dengan sebutan kepaid bangkung sangatlah berbeda. Menurut Putri, (2011:42) secara yuridis pelaksanaan perkawinan nyentana dengan istilah kepaid bangkung sangat berbeda. Karena proses nyentana tentu dengan sangat jelas dilakukan dengan sebuah upacara adat dan keagamaan yang sah sehingga status pengantin pria juga sudah jelas menjadi bagian dari pihak keluarga istrinya. Sementara kepaid bangkung sampai sekarang masih rancu penjelasannya, karena biasanya status laki-laki tetap pada keluarganya hanya saja tinggal di rumah sang istri dengan status yang kurang jelas dan keputusan tinggal di rumah istri hanya sebatas dari kehendak istri secara sepihak. Hal itulah sebenarnya dapat dikatakan sebagai kepaid bangkung.

Penggunaan istilah kepaid bangkung tersebut seakan-akan menjadi “kerikil tajam” dalam menuju kesetaraan gender pada masyarakat Bali. Lalu, bagaimana cara untuk menyingkirkan “kerikil tajam” dalam adat perkawinan nyentana pada masyarakat Bali? Penulis telah berupaya untuk melakukan pengamatan, dan wawancara kepada pasangan suami-istri yang melakoni jenis perkawinan nyentana ini. Tentu hasil dari pengamatan dan wawancara ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau penelitian lebih lanjut dalam pendalaman isu terkait jenis perkawinan nyentana yang unik pada masyarakat Bali dari perspektif kesetaraan gender. Masyarakat yang kurang paham akan bentuk perkawinan dalam masyarakat adat Bali perlu diedukasi, dan diberikan pengertian secara benar tentang jenis perkawinan. Di sinilah peran pemuka adat dan agama, apalagi di Bali sudah ada lembaga resmi yang membina adat. Ada majelis adat tingkat kecamatan, majelis adat tingkat kabupaten/kota, dan majelis adat tingkat provinsi.

Majelis adat tersebut sepantasnya memberikan pemahaman lebih dalam  kepada masyarakat adat tentang permasalahan perkawinan nyentana yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Sampai saat ini ada dua wilayah Kabupaten di Bali yang belum lazim melaksanakan perkawinan nyentana yaitu di Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem walaupun dalam keluarga tersebut hanya memiliki anak perempuan saja (Windia, 2019). Secara adat-Bali sesungguhnya kesetaraan gender dalam perkawinan sudah terakomodasi atau terwadahi namun masyarakat (adat) di dua Kabupaten tersebut masih sulit menerima jenis perkawinan nyentana. Menurut Windia, bukan masyarakat adat yang tidak menerima melainkan sesungguhnya soal masalah perebutan warisan harta. Adat hanyalah dijadikan sebagai alasan.

Dari hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar masyarakat Bali sudah menyadari akan pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga muncul bentuk perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap perempuan yang dapat menaikkan harkat martabat kaum perempuan Bali sehingga setara dengan laki-laki. Serta perkawinan nyentana ini adalah salah satu contoh kearifan lokal di Bali yang memiliki nilai-nilai keberlanjutan yang dapat mendukung SDGs. Pemerintah yaitu lembaga adat yang ada di Bali berperan sebagai media untuk mengedukasi masyarakat lebih lanjut mengenai perkawinan nyentana ini. Agar stigma negatif dari masyarakat yang menganggap rendah adat perkawinan nyentana dapat dihapuskan. Begitu juga kita sebagai generasi muda harus benar-benar memahami dengan baik terkait hubungan antara kesetaraan gender dalam perkawinan nyentana. Apabila diskriminasi berdasarkan gender ini dapat dihapuskan pada seluruh aspek kehidupan, maka laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh hak dan kewajibannya akan memiliki kesempatan yang sama. Kondisi yang adil ini dapat menciptakan kehidupan keberlanjutan yang lebih harmonis dan sejahtera baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Serta dapat mempercepat proses untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) terkait kesetaraan gender di Indonesia.

 

Ni Komang Tika Pradnyani


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini