KEGALAUAN GADIS BALI YANG MENCARI SENTANA
KEGALAUAN GADIS BALI YANG MENCARI SENTANA
KADEK NOVINDA LISTYAWATI
Dalam kehidupan manusia dikenal adanya hak–hak dasar yang disebut sebagai hak asasi manusia (human rights). Ketentuan itu tercantum dalam pasal 9 UU RI No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang intinya menyebutkan bahwa manusia berhak untuk hidup, mempertahankan kehidupannya, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak untuk hidup aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Setiap orang berhak atas lingkungan yang baik. Pada pasal 10 UU tersebut juga menyebutkan bahwa manusia memiliki hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Untuk melanjutkan keturunan dilakukan melalui perkawinan yang sah, yang hanya dapat berlangsung atas kehendak para calon sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia yang terdiri atas suku bangsa memiliki budaya masing-masing. Bali merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki adat dan budaya sebagai warisan leluhur yang masih dipertahankan sampai saat ini. Mulai dari awal sampai akhir kehidupan masyarakat Bali selalu berhubungan dengan adat dan budaya, seperti beragam upacara yang dilakukan sejak seseorang masih di dalam kandungan, saat lahir, mulai memasuki masa dewasa, masuk ke jenjang pernikahan sampai meninggal. Salah budaya masyarakat Bali yang unik adalah masalah perkawinan.
Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat rumit karena perkawinan bukan hanya menyangkut ikatan antara seorang pria dengan wanita yang akan dinikahinya. Tetapi, lebih dari itu perkawinan adalah hubungan yang sangat sakral karena menyangkut soal kepercayaan kepada Tuhan yang melibatkan keluarga, masyarakat adat di tempat mempelai melangsungkan perkawinan. Setelah menjadi hubungan suami-istri menjadi krama (masayarakat) adat. Menurut Windia (2008), yang dikutip dari makalah “Perempuan Bali, Warisan dan Kawin Pada Gelahang”, Perkawinan di Bali dibagi berdasarkan bentuk perkawinan yang diantaranya: Perkawinan Biasa, Perkawinan Nyentana/Nyeburin, Perkawinan Metunggu, Perkawinan Paselang, dan Perkawinan Pada Gelahang.
Adat Bali pada umumnya patrilinial. Hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan orang tuanya dan dapat melanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki laki, maka dapat digantikan oleh anak perempuan.Yang diberikan hak-hak dan kewajiban sebagai mana seorang anak laki laki dengan mencari sentana. Dalam Kamus Bali-Indonesia (Partami dkk, 2016: 641)), ‘sentana’ berarti (1) anak, (2) keturunan, (3) anak angkat). Dalam konteks perkawinan adat Bali sentana (nyentana: kata kerja) pihak perempuan berstatus sebagai perusa secara hukum adat Bali dan yang laki-laki berstatus predana. Menurut Windia (1997:122), perkawinan nyentana disebut perkawinan yang istimewa karena biasanya pihak wanita masuk ke rumah (keluarga) laki-laki, sedangkan perkawinan nyentana pihak laki-laki masuk ke rumah (keluarga) perempuan.
Nyentana atau Nyeburin adalah istilah dalam perkawinan adat di Bali dimana mempelai laki–laki tinggal di rumah mempelai perempuan dan statusnya sebagai status pradana berstatus perempuan pada perkawinan bisa—pihak perempuan ke rumah laki-laki) mempelai perempuan di rumah istrinya. Atau, dapat dikatakan bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status Purusa menjadi Pradana. Jadi, mempelai wanita sebagai Purusa sedangkan mempelai pria sebagai Pradana.
Sebagian daerah di Bali menerima jika laki-laki menjadi sentana (nyentana). Namun, sebagian lagi di daerah Bali belum lazim menerima anak laki-laki nyentana. Ditambah lagi sekarang, setelah keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) berhasil dari masa Orde Baru, keluarga di Bali kebanyakan punya anak 1 atau 2 orang. Menjadikan usaha sebuah keluarga maupun anak gadis untuk mencari sentana sangat sulit. Lebih-lebih ada celotehan di masyarakat—dalam candaan—jika menjadi sentana, laki-laki ada di bawah perintah pihak perempuan. Sering kata-kata dalam candaan seperti itu menjadi pertimbangan pihak laki-laki dan keluarganya untuk nyentana.
Di daerah Kabupaten Badung, Denpasar, Gianyar dan Tabanan nyentana itu masih atau tetap diterima sebagai salah satu jenis perkawinan, baik oleh keluarga pihak laki-laki maupun pihak keluarga perempuan sepanjang keluarga laki-laki memiliki anak laki-laki lebih dari satu. Walau demikian, meski diterima secara adat, nyatanya banyak perempuan Bali dan orang tua didera perasaan galau ‘pikiran kacau’, semacam ada tekanan secara psikologis. Dalam dunia kdokteran ‘galau’ termasuk bagian dari pikiran yang stres, yakni gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar (Departemen Pendidikan Nasional, 2010:1341). Karena terbatasnya anak laki laki yang tersedia dan bersedia nyentana. Pada masa lalu, mungkin masih mudah mencari sentana. Karena sebuah keluarga Bali sudah biasa punya banyak anak laki-laki. Kalau anak pertama laki laki, cenderung keluarga Bali akan bertahan (berhenti punya anak) karena dirasakan sudah cukup punya anak satu. Kondisi yang sebaliknya sekarang ini, menjadikan bukan saja perempuan Bali juga orang tua diliputi perasaan was was karena sulit mencari sentana.
Terhadap kasus nyentana, penulis pernah mencermati pasangan keluarga yang hanya memiliki anak gadis. Selain itu, penulis sendiri pernah melakukan penelitian sederhana soal nyentana di desa Suraberta, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, sejumlah fenomena dan fakta yang penulis peroleh. Pertama, pada anak gadis yang tidak memiliki saudara laki-laki atau keluarga yang anaknya semuanya lahir perempuan diperoleh kasus bahwa anak gadisnya tersebut harus mendapatkan sentana agar dapat meneruskan keturunan keluarganya.
Dalam kondisi kesulitan mencari sentana, sang anak (si gadis) dan keluarganya didera oleh perasaan galau dan was was karena takut tidak akan mendapatkan sentana. Keluarganya juga memikirkan masa depan anaknya karena takut anaknya tidak akan menikah jika tetap berpegang pada keputusan mencari sentana. Hal itulah menyebabkan keluarga pihak perempuan memilih untuk melakukan perjodohan dengan laki laki yang seagama tetapi ada juga keluarga yang menjodohkan anak gadisnya dengan laki laki yang berbeda agama. sehingga mengakibatkan permasalahan pada rumah tangga anaknya kelak sebab pernikahannya tidak didasarkan atas cinta. Memang ada beberapa pernikahan yang langgeng hasil dari perjadohan karena setelah beberapa lama menjalani pernikahan tersebut cinta antara mereka mulai tumbuh. Namun, kebanyakan pernikahannya kandas di tengah jalan.
Kedua, pada keluarga yang di dalamnya terdapat laki-laki yang sudah menjadi sentana diperoleh kasus bahwa pihak laki-laki (suami) yang berstatus predana mengalami masalah mengenai hak dan kewajibannya di rumah pihak perempuan (istri). Karena dalam perkawinan biasa segala hak dan kewajiban sudah jelas berada pada pihak laki laki. Tetapi, pada perkawinan nyentana yang menjadi tulung punggung adalah pihak perempuan (sentana rajeg). Pihak laki laki yang melakukan perkawinan nyentana memiliki hak sebagai penerus keturunan pihak perempuan. Laki laki yang sudah berstatus nyentana juga memikirkan mengenai pewarisan, karena banyak kasus di Bali seorang anak laki laki kehilangan hak warisnya di rumah asalnya karena melakukan perkawinan nyentana. Oleh karena itu, sebagian besar laki laki tidak bersedia untuk melakukan perkawinan nyentana.
Selain hak waris untuk dirinya sendiri pihak laki laki juga berpikir mengenai pewarisan kepada keturunannya nanti mengingat sistem pewarisan di Bali pada umumnya patrilinial. Sesungguhnya sesuai fakta yang ada, anak yang lahir dari hasil perkawinan nyentana mendapatkan hak waris di keluarga pihak perempuan. Dan anak ini mendapatkan hak dan kewjiban dari keluarga pihak perempuan untuk meneruskan keturunan selanjutnya.
Ketiga, pada keluarga yang sudah mendapatkan sentana tetapi telah bercerai terdapat permasalahan mengenai pembagian hak waris. Pihak laki laki meminta hak warisnya kepada pihak perempuan. Karena dia merasa dirugikan jika tidak mendapatkan apa apa dari pernikahannya tersebut. Namun, apa yang dijelaskan oleh Windia (1997:124) jika terjadi perceraian, pihak predana (laki-laki yang nyentana) sama seperti pihak perempuan kembali ke rumah asalnya yang sudah kehilangan hak waris, kecuali ada pertimbangan tertentu di rumah asal (keluaraga tempat lahir).
Banyaknya masalah yang timbul akibat dari perkawinan nyentana menyebakan semakin sulitnya seorang perempuan (gadis) Bali memperoleh sentana. Dalam kondisi seperti ini sudah sepantasnya pihak Pemerintah Bali melalaui desa adat menghimbau masyarakat adat (yang kini sudah memiliki payung hukam) agar perkawinan nyentana menjadi budaya yang luhur dan mendapat apresiasi yang tinggi sehingga mengangkat martabat perempuan Bali bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki hak dan keudukan yang sama di dalam keluarga, di masyarakat adat. Kedudukan yang setara antara anak laki-laki dan perempuan seperti itu juga akan menghilangkan kesan bahwa wanita Bali tidak memeroleh hak yang sama dalam masyarakat Bali.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Partami, dkk.. 2016. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Bali
Windia, Wayan P..1997. Tanya Jawab Hukum Adat Bali. Denpasar: Upada Sastra
_____________ .2008. “Perempuan Bali, Warisan dan Kawin Pada Gelahang”, (makalah)
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini