OPINI

Detail Opini Guru

Sekolah Sebagai  Taman Belajar

Kamis, 9 Januari 2025 00:56 WIB
1214 |   -

Sekolah Sebagai  Taman Belajar

Oleh: I Made Wardita

     Taman memiliki makna konotasi sebagai tempat yang indah,  menyenangkan dan mengasyikkan untuk dikunjungi.Dengan mengunjungi taman, seseorang bisa bermanja dan betah berjam-jam melepas penat sehingga bisa  keluar dari kejenuhan akibat rutinitias yang dijalani.

    Taman dengan bunga yang  mekar, dikerubungi kupu-kupu aneka warni, udaranya yang sejuk dan harum, lingkungannya  yang bersih, nyaman, dan hamparanya  yang luas  serta menghijau, menjadi tempat yang sangat baik untuk menggali dan membangun inspirasi. Penulis pernah menyimak ceramah seorang pemateri pada Kegiatan Kemah Ilmiah Remaja bahwa di sebuah negara maju, para peneliti diberikan waktu dan  ruang yang cukup untuk menggali inspirasi dengan hanya  duduk-duduk di sebuah taman,  bebas melakukan apa saja, kemudian begitu ide inovatifnya muncul langsung dituliskan pada papan-papan yang sudah tersedia di tempat yang menyenangkan tersebut. Coretan-coretan pada papan itu selanjutnya diinterpretasi oleh para asistennya untuk ditindaklanjuti dalam proses penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya. 

    Proses melahirkan ide inovatif dengan cara berkontemplasi di taman oleh para ilmuwan,  konon dibayar mahal di negara tersebut. Artinya,  ilmuwan diberikan ruang yang bebas untuk berkontemplasi dengan waktu yang tidak terbatas dan digaji cukup tinggi.

   Bernalogi dari hal tersebut, dalam konteks sekolah, ide bisa muncul, inovasi berpikir bisa terbangun, prestasi bisa berkembang optimal manakala sekolah mampu menyediakan sistem pendidikan yang menyenangkan, baik secara fisik dan psikis kepada siswanya, termasuk untuk pendidik dan tenaga kependidikan. Intinya sekolah perlu menyediakan sistem yang dapat membebaskan dari  dari rasa takut. Sekolah harusnya menjadi taman belajar untuk siswa, guru, dan tenaga kependidikan di institusi tersebut.

   Program merdeka belajar yang digulirkan Mendikbud, Nadiem Makarim pada penghujung tahun 2019 dapat dimaknai sebagai  salah satu dari maksud baik untuk  mengembalikan sekolah menuju identitas diri yang sesungguhnya. Diharapkan pada tahun 2020,  blueprint (cetak biru) Sistem Pendidikan Indonesia seperti yang dijanjikan Nadiem benar-benar memberikan otonomi kepada institusi pendidikan untuk mewujudkan sekolah sebagai “taman belajar” sehingga semua aktivitas di dalamnya berjalan secara menyenangkan.

   Mengapa sekolah sebagai taman belajar?  Analog dengan sifat-sifat taman yang indah, cantik, dan menarik yang terbukti memberikan ruang yang cukup untuk berekspresi, membangun potensi, dan meraih prestasi,  tentu saja sekolah idealnya seperti itu. Sekolah sebagai taman belajar diharapkan memadukan keindahan sekolah secara fisik dan  yang terpenting nonfisik (baca: sistem pengelolaannya).

   Bapak Pendidikan Nasional Kita Ki  Hadjar Dewantara  ketika mendirikan sekolah pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta,  sekolahnya diberi nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara memaknai  taman sebagai  tempat bermain atau tempat belajar, dan siswa berarti murid.

   Dalam pengelolaannya, Taman Siswa  menganut Patrap Triloka yaitu: ing ngarsa sung tulada; (yang) di depan memberi teladan, ing madya mangun karsa;  (yang) di tengah membangun kemauan/inisiatif, dan tut wuri handayani; dari belakang mendukung. Sedangkan jenjang persekolahannya  adalah: Taman Indria (sederajat dengan TK), Taman Muda (sederajat dengan Sekolah Dasar), Taman Dewasa (sederajat dengan SMP), Taman Madya (sederajat dengan SMA), Taman Guru (sekolah bagi para pamong), Taman Prasarjana (sederajat dengan dengan Universitas), dan Taman Sarjana Wiyata (sederajat dengan Universitas).

    Pada setiap jejang Taman Siswa selalu melekat kata “taman”. Ini mengisyaratkan bahwa sekolah adalah tempat dan sistem yang menyenangkan dan mengasyikkan untuk “bermain” sehingga akan mampu mengantarkan siswa mencapai kecerdasan. Sebab,  intinya sekolah memadukan kegiatan belajar dengan bermain.

    Taman Siswa memberikan pelayanan pendidikan yang bersifat merakyat dengan menerapkan berbagai azas. Pertama, azas kodrat alam yaitu manusia pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari kehendak atau hukum-hukum kodrat alam. Manusia akan meraih kebahagiaan bila mampu menyatukan diri dengan kodrat alam. Berikutnya, azas kemerdekaan yang intinya kemerdekaan merupakan kodrat manusia juga. Manusia perlu untuk menjalani kehidupannya dengan tertib dan damai secara bersama-sama.  Ketiga,  azas kebudayaan intinya bahwa manusia dalam menjalani hidupnya penting sekali memelihara nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai pijakan, untuk mencapai kemajuan dan mengikuti perkembangan zaman.

   Kemudian, azas kebangsaan yang intinya proses pendidikan selalu menanamkan nilai persatuan dan memperhatikan hak asasi manusia. Terakhir, azas kemanusiaan. Dalam konteks ini sekolah menyadari bahwa manusia adalah mahkluk yang mempunyai akal dan budi  sehingga harus diberikan ruang yang cukup untuk bisa berkembang agar dapat tumbuh dan berkembangnya rasa cinta dan saling mengasihi sesama manusia. Inilah hakikat terpenting dari proses pendidikan  Taman Siswa yang semestinya dijadikan inspirasi pengembangan sekolah.

   Sistem pendidikan di Taman Siswa diyakini telah terbukti berhasil memanusiakan manusia. Pemerhati pendidikan sering mengungkapkan hal ini dalam berbagai kesempatan.

   Taman Siswa yang filsafat pendidikannya  digali dari nilai-nilai bumi nusantara, idealnya selalu dijadikan rujukan dan inspirasi. Nadiem Makarim, yang cukup lama mengenyam pendidikan formal di luar negeri, (mungkin)  merasakan bahwa sistem pendidikan kita saat ini semestinya dikembalikan lagi ke “rel” yang sesungguhnya. Ini (barangkali) hasil bidikan  kamera nurani Nadiem yang sangat objektif dan jujur ketika memotret dari luar.  Dan, rel itu  sesungguhnya  sudah ada pada kita.  Yang penting ada komitmen bersama untuk menjadikan pijakan.  Ada pada falsafah Pendidikan Nasional yang digali dan dirumuskan Ki Hadjar Dewantara.

   Mengembalikan arah Pendidikan Nasional perlu didukung semua komponen bangsa. Pemerintah dan DPR   semestinya segera meninjau, mengoreksi, dan merumuskan kembali regulasi dalam bidang pendidikan.  Di tingkat pelaku pendidikan, dalam hal ini sekolah, penting untuk menerapkan manajemen inovatif mewujudkan sekolah sebagai taman belajar.

  Mewujudkan sekolah sebagai taman belajar haruslah bersifat holistik. Terjadi perpaduan antara komponen fisik dan nonfisik. Secara fisik areal sekolah idealnya memadai dari segi luas lahan. Arealnya hijau dan bersih, serta banyak berdiri taman yang indah. Penamaan taman pun perlu mengadopsi konsep-konsep kekinian. Misalnya ada taman literasi, taman kebhinekaan, dan sebagainya. Tanaman juga bisa bermacam-macam, misalnya bermacam bunga, tumbuhan langka, tumbuhan obat, tumbuhan untuk keperluan upakara, dan tumbuhan untuk penghijauan. 

   Di taman tersebut siswa dapat belajar secara nyaman, baik untuk kegiatan intakurikuler maupun ekstrakurikuler.  Siswa juga dapat mengakses internet, menjelajahi kelas maya di sana. Siswa juga dapat mengerjakan tugas-tugas kokurikuler di taman sekolah.

  Di taman tersebut siswa dapat membangun komunikasi personal, mengasah kepekaan, membangun empati,  dan membudayakan sikap saling menghargai.  Siswa juga dapat dibiasakan merawat  taman dan diberikan tanggung jawab untuk selalu menjaga taman. Sedangkan guru hadir melakukan pendampingan. Dengan memanfaaatkan taman sekolah sebagai latar, guru dapat mengintensifkan pendampingan kepada siswa. Mengoptimalkan kesempatan memasuki dunia anak, untuk kemudian mengantarkan anak (mereka) memasuki orang dewasa.

    Membangun sekolah sebagai taman belajar, secara nonfisik dapat dilakukan dengan menyediakan “iklim” sekolah yang menyenangkan, membebaskan segala aktivitas sekolah dari rasa takut dan mencemaskan, dan mampu mengatarkan siswa keluar dari kejenuhan.  Pertama, penerapan program “sekolahku rumahku”. Dari program ini hubungan siswa dengan guru dan siswa dengan siswa sarat pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak sekadar hubungan formal yang kaku, sebatas pada proses transfer ilmu pengetahuan. Tetapi mengutamakan hubungan pedagogik. Guru adalah sahabat siswa juga orang tua siswa. Semua siswa bersaudara dengan potensi dan keunikannya masing-masing.

   Kedua, melaksanakan program sekolah ramah anak. Ruang dan waktu untuk siswa berekspresi harus tersedia secara maksimal di sekolah. Ekspresi dalam berbagai dimensi seperti seni budaya, olahraga gembira, literasi, olah intelektual, apresiasi  terhadap prestasi  diberikan waktu yang proporsional.

    Ketiga, penerapan program disiplin bermartabat. Kunci sukses adalah disiplin. Setiap siswa memiliki potensi untuk berbuat disiplin. Sekolah idealnya membangun potensi tersebut. Siswa dimotivasi untuk berlomba berbuat disiplin. Malu jika tidak disiplin. Dan, disiplin tumbuh atas kesadaran pribadi.

    Sistem zonasi sebenarnya memberikan peluang  berinovasi untuk  mewujudkan sekolah sebagai taman belajar. Sayangnya pemahaman yang masih parsial dari berbagai pemangku kepentingan dan belum “ikhlasnya” berbagai pihak terhadap sistem ini akhirnya menjadi penghambat. (*)

 

Wanagiri, 28 Januari 2020


Komentar

×
Berhasil membuat Komentar
×
Komentar anda masih dalam tahap moderator
1000
Karakter tersisa
Belum ada komentar.

Jadilah yang pertama berkomentar di sini