“TUMPEK UDUH” WUJUD KASIH SAYANG
Rasa kasih sayang memiliki arti saling mengasihi dan menghormati. Mendengar kata ini teringat sejenak dengan perayaan hari kasih sayang, yang umum diperingati oleh berbagai kalangan di belahan dunia ini. “Hari Valentine” adalah momentum yang biasanya ditunggu-tunggu sebagai hari spesial untuk memberikan hadiah berupa coklat maupun bunga kepada orang yang terkasih. Perayaan ini, tampaknya menjadi sebuah budaya dan tradisi yang diperingati setiap tahunnya untuk mengekspresikan rasa kasih sayang.
Berbicara tentang kasih sayang akan lebih lengkap, rasa tersebut kita berikan kepada semua mahluk ciptaan Tuhan maupun benda mati yang ada disekitar kita. Hal ini akan membentuk sebuah keseimbangan baik dengan sesama manusia, alam, dan beserta isinya. Sebagai salau satu contoh, di Bali memiliki satu perayaan hari kasih sayang terhadap tumbuh-tumbuhan yang dinamakan "Tumpek Uduh/Tumpek Bubuh/Tumpek Wariga/Tumpek Pengatag." Perayaan ini merupakan kearifan lokal yang yang diturunkan oleh para leluhur, yang sudah menjadi budaya dan tradisi umat hindu dalam mengungkapkan "olas asihnya" kepada tumbuh-tumbuhan. Upacara ini merupakan sebuah aplikasi dalam upaya membentuk keseimbangan alam Bali dengan konsep "Tri Hita Karana"
"Tri Hita Karana" adalah tiga penyebab kebahagiaan, kedamaian, dan keharmonisan. Pertama "Parahyangan" yang merupakan hubungan baik manusia dengan Tuhan, kedua "Pawongan" yang merupakan hubungan baik manusia dengan manusia, ketiga "Palemahan" yaitu hubungan baik manusia dengan lingkungannya. Tiga komponen tersebut kita sadari memegang peranan penting dan memiliki andil dalam keberlangsungan kehidupan di dunia ini khususnya di Pulau Dewata ini.
Dalam hal ini mari kita bahas sedikit tentang "palemahan" yaitu lingkungan tempat tinggal kita. Salah satu bagian dari lingkungan adalah tumbuh-tumbuhan. Mahluk hidup ini sudah memberikan kita banyak manfaat seperti sebagai sumber makanan, kayu-kayu sebagai bahan bangunan, pepohonan yang menjaga daerah resapan air, dan sebagainya. Perayaan "Tumpek Uduh" ini mengajarkan kita, tidak hanya berhenti pada pemanfaatannya saja, orang Bali yang pada kesehariannya selalu banyak bersyukur atas apa yang diterima, memberikan cinta kasih dan penghormatannya terhadap tumbuh- tumbuhan melalui perayaan jatuh pada 'Rahina Saniscara Kliwon Wuku Wariga (hari Sabtu Kliwon Wariga = siklus dalam penanggalan Bali yang berumur 7 hari). "
Dikatakan sebagai "Tumpek Uduh" karena kata "uduh" yang dalam Bahasa Bali bearti sebuah perintah, dalam hal ini sebuah perintah agar tanaman cepat berbuah. Disebut "Tumpek Bubuh" karena sesajen atau dalam agama hindu umum disebut banten yang dihaturkan pada perayaan tersebut dilengkapi dengan "bubuh sumsum" (bubur yang terbuat dari tepung beras dan diwarnai dengan daun suji). "Bubuh sumsum" ini merupakan sebuah lambang kesuburan dengan harapan tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan cepat berbuah. Dinamakan "Tumpek Wariga" karena perayaan dari upacara ini jatuh pada Wuku Wariga. Selanjutnya dikatakan “Tumpek Pengatag” karena pada prosesi menghaturkan sesajen dilakukan dengan menepuk-nepuk dan mengelu-elus batang tumbuhan, sebagai wujud penyampaian harapan dari pemiliknya.
Pada hari baik untuk tumbuh-tumbuhan ini diharapkan agar menghindari untuk menebang pohon atau bahkan membersihkan ranting-rantingnya karena dipercaya sebagai "otonan" (hari jadi/hari peringatan). Upacara yang diisi dengan tradisi membuat "bubuh sumsum" ini dirayakan setiap enam bulan sekali oleh umat hindu sebagai wujud pemujaan kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Dewa Sangkara. Kepada Dewa penguasa tumbuh-tumbuhan yang ada di lingkungan rumah, ladang, perkebunan, maupun persawahan akan diberikan sesajen yang berisikan "bubuh sumsum" berwarna hijau. Dalam ritual tersebut umat hindu yang mengaturkan banten sambil mengucapkan monolog seperti ini :
“Dadong-dadong, I Kaki dija? I Kaki ia gelem. Gelem apa? Gelem nged, nged, nged, nged….”
Artinya :
“Nenek-nenek, kakek dimana? Kakek sedang sakit. Sakit apa? Sakit lebat-lebat- lebat-lebat….”
Mantram tersebut dilantunkan sembari memberikan isyarat menepuk-nepuk atau menoreh batang pohon dengan blakas (parang). Hal tersebut bukan bermaksud untuk menyakiti, hanya saja sebagai simbolis, dengan tujuan apa yang diharapkan bisa tersampaikan dan tumbuh- tumbuhan tersebut agar berbuah lebat 25 hari lagi. Kenapa 25 hari? Karena akan datang perayaan hari raya Galungan sebagai “Hari Kemenangan Dharma melawan Adharma” dan pada saat itu diharapkan hasil bumi akan melimpah, tumbuh-tumbuhan berbuah maupun berbunga serta dapat dimanfaatkan sebagai sarana sesajen atau banten yang dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Mengapa menyebut "kaki" kakek) dan "dadong" (nenek)? Kakek dan nenek yang kita ketahui merupakan orang tua yang sudah ada jauh lebih dulu dari kita. Penghormatan dari kata-kata tersebut kepada tumbuh-tumbuhan merupakan wujud yang memuliakan keberadaaannya yang jauh lebih awal dari pada kehidupan manusia.
Dengan demikian keunikan tradisi dan budaya Bali yang sudah diwarisi oleh leluhur tidak semata-mata diturunkan untuk mengikat atau mengharuskan membuat sebuah upacara. Mari kita renungkan sejenak, para pendahulu sudah memikirkan dengan sangat matang kapan upacara tersebut dirayakan dan apa maknanya. Dibalik tradisi yang sudah ada dari zaman tradisional ini, pendidikan nilai-nilai karakter tidak kalah pentingnya diamalkan dalam kehidupan di zaman modern ini. Karena semakin dewasa bumi ini semakin banyak mengalami perubahan untuk itu mari kita jaga pepohonan, sayangi, dan rawatlah dengan tulus karena mereka mahluk hidup, yang pasti akan membalas perlakuan baik kita terhadapnya.
Era Aryanti
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini